Minggu, 22 November 2015

cerpenku



Temen-temen aku mau bagi cerita tentang pengalamanku nih...dibaca yaaa

Pengganti Cinta Pertama

                Dulu ketika aku kelas VII, aku mulai ada rasa sama seseorang. Seseorang itu berkulit putih, lebih tinggi dari aku, rajin beribadah dan tidak sombong. Orang itu namanya Alif. Ya… nama yang sesuai dengan cirri-cirinya. Aku sendiri namanya Natasha Bella Latuconsina, dan biasa dipanggil dengan sebutan Natasha. Kata temen-temen, aku orangnya rajin beribadah, suka menolong, rela berkorban, pendiam, pemalu, dan cerdas. Tapi selain semua itu, ada satu hal yang menyakitkan bagi aku yaitu katanya aku pendek. Tapi emang sebenernya itu fakta karena aku lebih pendek dari ketiga teman sejatiku. Ketiga teman sejatiku yaitu yang pertama adakah Shiren. Shiren itu menurut aku orangnya kadang suka mengalah, peduli sama temen, cerdas, dan suka menolong. Teman sejatiku yang kedua namanya Shevia. Menurut aku, Shevia itu orangnya pendiam, suka menolong, cerdas, dan rajin beribadah. Teman sejatiku yang ketiga yaitu Jessica. Menurut aku, orangnya cerewet, suka memberi, cerdas dan rajin beribadah.

Dengggg…. dengggg…. dengggg…. bel istirahat pun berbunyi. Aku dan ketiga temanku yang bernama Shiren, Shevia, dan Jessica langsung transit ke kantin Nusantara Bhakti kita yang tercinta. Ya… itulah nama sekolahku yaitu sekolah Nusantara Bhakti. Memang saat istirahat aku dan ketiga temanku selalu pergi ke kantin untuk mengisi perut yang keroncongan.  Di kantin, aku dan ketiga temanku ngliat si Alif lagi duduk sendirian sambil bertatapan dengan segelas es cappuccino sekaligus sambil makan sandwich di tangannya. Kami berempat memesan mie ayam dan jus jambu. Setelah memesan, ketiga temanku saling mengajak untuk duduk di dekatnya Alif. Aku pun hanya terdiam dengan ekspresi datarku mengikuti apa mau ketiga temanku itu. Ya… memang sebenarnya aku sengaja memasang muka datar supaya ketiga temanku tidak curiga karena sebenarnya aku seneng banget bisa duduk di deketnya Alif.

            “Hai Lif.. kit” Ucap Shiren ke Alif yang belum selesai bicara ditabrak oleh Shevia.

            “Kita boleh duduk di sini bareng sama kamu kan Lif?” Tanya Shevia.

            “Oiya silakan, boleh  kok” Jawab Alif dengan ramah.

            “Kamu udah lama Lif ke sininya?” Tanya Jessica ikut-ikutan nanya.

            “Belum sih, baru aja pesenanku dateng dan nih sandwichnya baru  aku gigit.” Balas Alif.

              “Oooo. Eh kamu ngapain Sha diem aja sambil ngelamun. Ikutan ngomong dong… entar bisa-bisa lo kesambet loh.” Kata Jessica membuyarkan lamunanku.

              “Lagi mikirin Alif Kali.” Kata Shevia nyolot.

              “Eh… i… iya. Aku lagi nggak ngelamun kok, Cuma lagi ndengerin kalian ngomong.”

Kataku gugup karena aku bohong dan yang sebenernya aku emang bener-bener lagi ngelamun mikirin Alif yang makin hari sikapnya makin ramah.

“Alah, nggak usah pur-pura. Kamu lagi mikirin Alif ya?” Tanya Shiren mulai curiga sama aku.

Belum sampai aku ngejawab, Shevia menabrak dengan berteriak penuh keriangan karena makanan sudah datang.

            “Yeyyy makanan udah datang. Saatnya makan.”

Sungguh aku merasa sangat lega karena Shevia menabrak pembicaraanku dengan Shiren. Setelah makan tertata rapi di meja, kami langsung menyantap dengan lahapnya. Setelah mungkin kira-kira lima sendok mie ayam yang kita berempat lemparkan ke perut yang kosong ini, si Jessica mulai mengajak berbincang-bincang.

            “Sha, lo metikbunga mawar itu di mana? Aku boleh pin?” Lagi-lagi kalau ada orang ngomong si Shevia selalu nabrak-nabrak.tapi kalau yang sekarang, Shevia nabrak sekaligus ngambil bunga mawar milikku yang nanti akan aku gunakan untuk percobaan fisika dari dalam sakuku.

            “Wow… aku boleh pinjem kan Sha?” Kata Shevia.

            “Eh… apaan…. Kan aku duluan yang pinjem.” Kata Shiren dengan penuh kesebalan sekaligus sambil berebut bunga itu dengan Shevia.

            “Stoppppp. Daripada kalian rebut terus mendingan bunga itu aku yang pinjem.” Kata Jessica yang menenangkan Shevia dengan Shiren tapi ada maunya. Akhirnya, Shevia, Shiren, dan Jessica saling berebut bunga mawarku.

            “Udah-udah kalian nggak usah rebutan kayak gitu, ntar kalo sobek gimana?” Tanyaku penuh kekhawatiaran. Baru aja aku bilangin tiba-tiba srek suara bunga mawar aku yang sobek. Sobeknya itu jadi tiga. Yaitu, tangkai bunga yang berada di tangan Shiren, setengah bunga sekaligus daun di tangannya Shevia, dan setengah bunga lagi di tangan Jessica.

            “Aduuhhhhh…. Tuh kan, baru aja aku bilangin. Sekarang, hancur deh bunga mawarku. Padahalkan itu bunga satu-satunya dan baru akupetik tadi pagi sampai harus hujan-hujanan.” Kataku penuh kesedihan.

            “Aduhhh… aku minta maaf ya Sha.” Kata Shevia.

            “Aku juga minta maaf ya Sha. Gara-gara kamu si Ren, Jadinyakan bunganya sobek.” Kata Jessica menyalahkan Shiren.

            “Apaan nyalah-nyalahin aku, kan bukan salahku. Eh Sha, aku juga minta maaf ya Sha.” Ucap Shiren melawan Jessicadan minta maaf ke aku.

            “Kita mau kok nyari bunga mawar yang baru lagi buat kamu.” Ucap Shevia.

            “Iya Sha.” Kata Jessica ikut-ikutan berbicara.

            “Iya bener Sha. Yang penting kamu mau maafin kita.” Ucap Shiren ikut-ikutan memohon padaku.

            “Ya oke… Aku maafin kalian semua dan kalian nggak usah repot-repot nggantiin bunga mawar aku itu.” Kataku membalas permohonan ketiga temanku itu.

            “Makasih… Sha….” Ucap ketiga temanku serempak. Ketiga temanku lalu melanjutkan memakan mie ayam lagi.

            “Oiya, tapi aku entar praktek fisikanya gimana ya?” Tanyaku.

            “Kalian bertiga ada yang bawa dua apa engga?”

Ketiga temanku saling bertatap-tatapan lalu menggeleng dengan perasaan bersalah seperti tadi sebelum aku maafin mereka.

            “Nih, bunga buat kamu.” Kata Alif sambil menyodorkan bunga mawar seperti milikku namun bunga yang diberikannya jauh lebih seger.

Uhuk-uhuk “Chieeee” Kata Shevia dengan berpura-pura keselek jus jambu yang diminumnya.

            “Terima aja Sha.” Ucap Shiren menyuruhku untuk menerimanya.

            “Iya Sha. Lumayankan dapat bunga buat praktek fisika nanti tanpa harus bersusah payah.” Kata Jessica mencoba menggodaku.

            “M..mm makasih ya.” Kataku sambil mengambil bunga dari tangan Alif yang disertai dengan jantung yang menghantam-hantam tak karuan.

Alif hanya mengangguk dan melemparkan senyum tanpa mengeluarkan ucapan satu kata pun.

            “Lif, kamu dapat bunga mawar itu dari mana?” Tanya Shiren kepo.

            “Nih di sebelah aku ada pot bunga mawar dan untungnya ada bunganya. Meski baru tumbuh satu.” Balas Alif.

            “Eh, makanan udah habis nih. Ke kelas yuk.” Ajak Jessica.

            “Yuk, eh Lif kamu mau ke kelas bareng kita nggak?” Tanya Shevia pada Alif karena emang kelasnya bersebelahan.

            “Engga deh, kalian duluan aja.” Jawab Alif.

            “Sha,Ren. Tungguin kita dong.” Teriak Jessica. Sebenarnya aku ingin nungguin Jessica sama Shevia sekaligus ngliat senyummanisnya Alif. Tapi karena Shiren terus narik aku, akhirnya aku gagal melihat senyumnya.

            Keesokan harinya, aku berangkat dengan perasaan senang karena masih teringat akan kejadian yang kemarin. Karena di sekolah masih sepi sebab hari yang masih cukup pagi aku memilih untuk duduk di depan kelas sambil membayang-bayangkan kejadian kemarin. Sepuluh menit kemudian, aku dikageti oleh ketiga teman sejatiku yang biasa.

            “Wooiii.” Ketiga temanku mengagetiku.

            “Lagi ngelamun mikirin Alif ya?” Tanya Shevia.

            “Cerita dong sama kita, kalo kamu suka sama Alif.” Sahut Shiren.

            “Apaan sih kalian, aku lagi nggak mikirin siapa-siapa kok.” Balasku dengan wajah penuh dengan pura-pura.

            “Udah deh Sha, certain aja. Siapa tahu kita bisa bantu kamu buat lebih deket sama Alif.” Kata Jessica.

            “Ya deh, sekarang aku ceritain ke kalian. Aku emang lagi mikirin Alif karena aku suka sama Alif. Terus aku suka sama Alif bukan karena kejadian kemarin, tapi emang udah dari dulu aku suka sama Alif.” Kataku mencoba menjelaskan kepada ketiga temanku.

            “Yeyyyy, aku tahu ceritanya.” Kata Fasya yang ternyata lagi nguping pembicaraanku. Dengan segera, Fasya berlari dan member tahu ke teman yang lain.

            Semakin hari memang banyak kejadian yang menyenangkan yang selalu kualami bersama dengan Alif. Namun, semakin hari semakin banyak juga yang mengetahui aku ada rasa sama Alif. Hingga suatu saat aku bertemu dengan Resti. Saat itu saat pulang sekolah.

            “Hai Sha, Shev, Ren, Jes.” Sapa Resti kepada aku dan ketiga temanku.

            “Hai juga.” Jawab aku dan ketiga temanku serempak.

            “ Kamu maukan Sha lebih deket sama Alif? Entar aku bantuin oke..?” Tanya Resti.

            “Emm… entahlah.” Kataku dengan penuh kebingungan dalam benakku.

            “Pulang aja yukkk?” Ajak aku untuk mengakhiri pembicaraan.

Setelah kita berlima sampai di dekat gerbang yang lagi magang di sekolah, nggak sengaja bertemu dengan Alif.

            “Sha, aku kasih tahu ke Alif kalau kamu suka sama Alif ya?” Tanya Resti.

            “Jangan dong, please jangan dong Res...” pintaku pada Resti. Karena sepertinya Resti kelihatannya mau tetep ngomongin ke Alif, aku memutuskan untuk pulang mendahului keempat temanku.

            “Alif, ada yang suka sama kamu.” Kata Resti.

            “Siapa?” Tanya Alif penasaran.

            “Natasha.” Balas Resti.

Memang aku pulang mendahului temanku,tapi jaraknmya masih cukup dekat sehingga aku bisa denger percakapan mereka. Beberapa detik kemudian, keempat temanku mengejarku.

            “Sha, udah aku omongin ke Alif.” Kata Resti.

            “Eh semuanya, aku pulang dulu ya soalnya udah dijemput nih. Daahhh…” Ucap Resti tak melanjutkan pembicaraan.

            “Alif tadi waktu kalian kasih tahu bilang apa?” Tanyaku.

            “Alif nggak bilang apa-apa, dia Cuma ndengerin terus buru-buru cabut anaknya.” Kata Jessica menjelaskan.

            “Ooo,terus ekspresinya gimana?” Tanyaku sekali lagi.

            “Ekspresinya kaget, seneng, pokoknya kayak gitu deh dicampur jadi satu.” Kata Shevia menjelaskan. Aku lalu mengangguk-angguk mengiyakan penjelasan Shevia.

            “Udah yuk, kita pulang sekarang.” Ajak Shiren.

            “Ya udah, yuk pulang.”

            Setelah kejadian itu, sikap Alif banyak berubah. Sikapnya benar-benar membuat aku bingung setengah mati. Kadang Alif ngebuat aku makin suka samanya, tapi kadang juga Alif ngebuat aku merasasupaya tidak mernyukainya lagi. Hingga satu bulan kemudian saat aku dan ketiga temanku lagi duduk di koridor kelas 8.2, melihat ada Alif yang mau menembak Angel di koridor kelas 7.2 jarak yang tidak jauh dariku. Angel itu sebenernya temen sekelasku yang udah tahu kalau aku naksir sama Alif. Saat Angel menerima menjadi pacarnya, Shiren menangis.”

            “Ren, ngapain kamu nangis?” Tanya Jessica.

            “Iya Ren, kok bisanya kamu nangis kayak gini sih? Orang Natasha aja yang suka nggak nangis.” Tambah Shevia.

            “Aku Cuma ngerasa kasihan sama Natasha.” Jawab Shiren dengun penuh kesedihan.

            “Udahlah Ren, lagian aku nggak papa kok dikayak gituin.” Jawabku santai meskipun sebenarnya ada perasaan marah,benci, dan sedih yang sedang menjalari seisi hatiku.

Selama Angel dan Alif berpacaran, rasa yang dulu suka mulai menghilang dan digantikan oleh rasa benci. Sebenarnya benci itu berasal dari rasa sakit hati yang kecil mulai menggelembung besar. Dalam kebencian itu, aku mulai tak mempedulikan orang yang bicara tentang Alif di depanku dan mulai berpura-pura untuk bersikap acuh pada Angel. Selain itu aku mencoba untuk move on sama Alif.

“Sha, kamu masih suka sama Alif?” Tanya Shiren padaku.

“Udahlah, nggak usah sebut-sebut nama itu lagi di depanku. Sebel tahu nggak dengernya.” Jawabku dengan cemberut.

Beberapa bulan Angel dan Alif berpacaran, akhirnya ada berita bahwa mereka berdua putus. Setelah lama mereka putus, aku benar-benar bisa move on 100%. Sebenarnya, aku bisa move on karena ada penggantinya. Penggantinya itu namanya Boy. Sebenernya Boy itu orangnya cerdas, disiplin, tegas, suka menolong, ramah, putih, dan lagi-lagi lebih tinggi dari aku.





Oleh : Neli Hidayah (23)
           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar